Kamis, Mar 28, 2024

Fenomena Arab Spring di Timur Tengah: Kegagalan Mengelola Konflik Sektarian dan Isu di Media

Kajian tentang Timur Tengah tidak pernah lepas dari kajian konflik yang tak kunjung usai dari satu negara ke negara yang lain. Salah satu faktor yang terungkap ternyata adalah peran media baik media sosial maupun media massa yang secara massif mengobarkan perasaan perlawanan dan tuntutan perang dari publik dunia. Demikian menjadi kajian dan catatan dalam Seminar Nasional dengan tema Dinamika Kawasan Timur Tengah: Antara Politik, Media Massa, dan Isu Konflik Sektarian yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Timur Tengah (PSTT), Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung, pada Kamis 30 Maret 2017 di Aula Gedung KH Saifuddin Zuhri.

Seminar ini menghadirkan 3 narasumber. Pertama, Safaat Ghofur, M.P.P. dari Kementerian Luar Negeri. Kedua, Dr. Dina y Sulaeman, M.Si., Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES). Dan ketiga, M Khoirul Malik, M.A., Direktur Pusat Studi Timur Tengah (PSTT), Fakultas Ushuluiddin Adabdan Dakwah IAIN Tulungagung. M Ainun Najib, M.Fil.I., dosen Filsafat Islam, bertindak sebagai moderator.

Rektor IAIN Tulungagung, Dr. Maftukhin, M.Ag.,dalam ceramahnya sebagai keynote speaker menegaskan bahwa kajian Timur Tengah justru akan sangat bermanfaat jika pihak Timur Tengah mau belajar tentang bagaimana pengelolaan konflik, perdamaian, dan iklim politik sebagaimana perkembangan Islam di Indonesia. Berdasarkan sejarah, Islam yang berkembang di Indonesia memiliki akar yang sangat beragam berasal dari wilayah pertumbuhan Islam di Timur Tengah yang berbeda-beda yang memiliki ciri khas masing-masing.

Meskipun pada awalnya –Rektor melanjutkan-  Islam yang datang ke Indonesia berasal dari daerah-daerah seperti Hadramaut, namun pengaruh yang lebih kuat justru berasal dari Persia, khususnya di daerah Lombok. Periode ini terjadi pada awal abad 20, ketika Turki Usmani dikalahkan, orang-orang Alawiyin berhijrah yang sebagian di antaranya menuju Nusantara. Perlu diingat bahwa saat memahami Timur Tengah jangan membayangkannya sebagai wilayah yang sama, karena sesungguhnya Hijaz atau yang saat ini dikenal dengan Arab Saudi sangat berbeda dengan Yaman. “Kajian Timur Tengah yang ada di Tulungagung ini akan memberikan ruang baru untuk para dosen, akademisi dan peneliti IAIN Tulungagung untuk memulai penelitian terkait Timur Tengah dan mendeseminasikan hasil penelitian tersebut di Timur Tengah, sehingga mereka dapat memahami sesuatu yang terjadi di wilayahnya dari sudut pandang Indonesia,” pesannya.

Secara umum, Safaat Ghafur, utusan dari Direktorat Timur Tengah, Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menjelaskan tentang negara-negara yang termasuk dalam wilayah Timur Tengah. Dalam catatan Kemenlu Republik Indonesia, terdapat 22 negara yang termasuk dalam wilayah Timur Tengah, tidak termasuk Iran dan Turki yang selama ini sering dipahami sebagai Timur Tengah. 20 negara Timur Tengah adalah Kuwait, Bahrain, Oman, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Yaman, Sudan, Lebanon, Palestina, Suriah, Yordania, Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, dan Eritrea.

Secara khusus terkait tema seminar, Safaat Ghafur menjelaskan tentang fenomena Arab Spring yang beritanya banyak tersebar hingga Indonesia. Menurutnya, peristiwa Arab Spring terjadi bukan karena persoalan perbedaan ideologi semata yang banyak masyarakat Indonesia menyederhanakan menjadi perang antar sekte Islam. Peristiwa Arab Spring terjadi di Tunisia ketika rakyat terhimpit persoalan ekonomi. Dia menceritakan sebuah peristiwa dimana terdapat seorang sarjana yang berjualan dan kemudian jualannya diperlakukan tidak adil oleh pihak keamanan, dia memilih untuk membakar diri di depan Istana. Hal tersebut kemudian menjadi berita besar dengan banyaknya pemberitaan dan mobilisasi masa. Namun, Arab Spring di Tunisia berbeda dengan peristiwa lain di Timur Tengah karena mereka berhasil menyelesaikan konflik dengan baik dan damai. Hal itu karena partai pemenang pemilu dengan sukarela mengundurkan diri untuk mencegah konflik semakin besar.

Narasumber kedua, Dina S. Sulaeman, mengungkapkan sebuah fakta yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipahami masyarakat Indonesia pada umumnya tentang konflik-konflik di Timur Tengah khususnya konflik Suriah yang berlangsung sejak 2011. Fakta yang menunjukkan bahwa kantor berita mainstream dan juga aktivis sosial media yang secara sadar telah menyebarkan hoax dan dikonsumsi secara cepat dan masif oleh publik dunia untuk menggambarkan kekejaman rezimBashar Al-Assad. Upaya propoganda melalui media tersebut ingin menunjukkan bahwa publik internasional harus membantu rakyat Suriah dari kekejaman Bashar Al-Assad yang dikenal berasal dari keluarga Syiah. Namun apa yang sebenarnya terjadi, dalam diskusi Dina S. Sulaeman memutarkan video yang diunggah dari stasiun televisi Suriah bahwa hal yang diberitakan dan disebarkan sedemikian rupa tidak benar adanya. Sebagian besar rakyat Suriah mendukung pemerintahan Bashar Al-Assad dan foto-foto yang disebarkan oleh media sosial bukan berasal dari perang di Suriah.

Lebih lanjut, Dina menegaskan bahwa konflik terjadi berawal dari seleb sosial media yang menyebarkan foto-foto hoax, bahkan hingga terdapat suatu scene mereka berfoto selfie dengan menyatakan saat itulah hari akhir rakyat Suriah yang dibombardir oleh Rezim Assad. Media mainstream internasional memberitakan dari sudut pandang media sosial tanpa sekalipun memperhatikan media dalam negeri Suriah dan juga tidak mengkonfirmasi informasi yang di dapat di lapangan.  Lebih menyedihkan lagi, foto dan video tersebut digunakan dan dibagikan di tengah masyarakat Indonesia, seperti gerakan Save Aleppo yang meminta bantuan masyarakat Muslim Indonesia. Pada pengaruh yang lebih jauh, informasi yang tidak benar tersebut juga membawa pada pemahaman yang mudah mengkafirkan antara Sunni dan Syiah seperti yang terjadi dalam konflik Sampang.

Oleh karena itu, Dina Sulaeman meminta kepada peserta seminar untuk berani bertindak melawan hoax yang saat ini dengan sangat gencar bertebaran dalam sosial media. Sebagaimana penelitian yang sudah dilakukan di Amerika Serikat, bahwa terdapat dua masyarakat yang menerima hoax.Satu masyarakat menunjukkan banyaknya akun media sosial yang telah sengaja atau tanpa sengaja menyebarkan hoax dan meyakininya sebagai kebenaran, dan satu kelompok masyarakat lainnya yang tidak terdapat titik hoax, karena terdapat satu di antara mereka melakukan perlawanan dengan menunjukkan berita tersebut sebagai hoax sehingga dapat mencegah persebarannya.

Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung, Abad Badruzaman, dalam sambutannya mengumumkan bahwa Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah saat ini telah memiliki beberapa pusat studi yang tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan akademik tetapi juga dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakat di luar kampus. Saat ini FUAD IAIN Tulungagung memiliki Pusat Kajian dan Asesemen Psikologi (PKAP), Institute for Javanese Islam Research (IJIR), Pusat Studi Al-Quran dan Hadis (PSQH), dan Pusat Studi Studi Timur Tengah  (PSTT) yang menyelanggarakan seminar kali ini. “Ini adalah upaya untuk memberikan ruang bagi Dosen dan mahasiswa untuk meningkatkan dan mengaplikasikan pengetahuan dan kemampuannya dalam bentuk kajian,penelitian,dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya” harapnya. (Kontributor: Fardan MI)