Minggu, Apr 28, 2024

Paradigma Agama Lokal, Alternatif Studi Islam Jawa

Tulungagung. Paradigma agama lokal menjadi salah satu alternatif sudut pandang untuk melihat fenomena keagamaan, atau lebih umum lagi budaya dan keyakinan yang hidup di masyarakat. Paradigma ini muncul sebagai kritik atas dominasi agama dunia yang saat ini secara sadar atau tidak telah menjadi satu-satunya cara pandang untuk melihat fenomena keagamaan. Direktur Center for Religious and Cross-culturan Studies (CRCS)/Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Master Program Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Dr. Samsul Maarif, memberikan ceramah ilmiahnya tentang “Islam Jawa dalam pergumulan Agama-agama Lokal Nusantara” di Acara Institut Transvaluasi, yang diselenggarakan Senin, 21 November 2016, di Aula Utama IAIN Tulungagung.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang Paradigma Agama Lokal, Samsul Maarif menerangkan lebih dulu tiga jenis definisi agama yang sering menjadi perdebatan. Pertama, Govern Religion, istilah ini merujuk pada pengertian agama yang ditujuan untuk ‘mengatur’ , ‘mengelola’, dan ‘membina’ agama. Biasanya, definisi ini ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga formal lainnya untuk menentukan apa yang disebut dengan agama, dan apa yang bukan. Pendefinisian ini dilakukan secara ketat, rigid, dan kaku, sehingga memberikan batas yang jelas terhadap agama dan hal-hal lain di luar itu. Hal-hal yang tidak sesuai dengan pendefinisian ini dinilai bukan bagian dari agama. Pada definisi ini pula lah, paradigma agama dunia digunakan. Misalnya, dengan mendefinisikan agama harus memiliki Tuhan, Kitab Suci, Nabi, Hukum, Komunitas Religius (umat), dan lain-lain.

Kedua, Expert Religion, definisi yang dijelaskan oleh akademisi. Akademisi memiliki definisi yang berbeda satu sama lain tentang apa yang disebut dengan Agama. Hal itu karena, beberapa ilmuan memiliki latar belakang analisis tersendiri dalam melihat fenomena keagamaan yang berbeda di banyak sudut dunia. Demikin juga, definisi ini sering kali berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Govern Religion.

Ketiga, Life Religion, suatu upaya menjelaskan definisi agama, dengan lebih mengedepankan realitas kehidupan keagamaan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu, horison pada definisi ini sangat luas, unik, berbeda, dan terus berkembang sesuai dengan karakter masyarakat. Sangat berbeda dengan Govern Religion, Life Religion tidak memiliki pola tertentu untuk mendefinisikan agama, sehingga batas-batasnya menjadi tidak jelas. Bahkan, batas tersebut menjadi tidak dipersoalan kembali, dan realitas ditransformasikan untuk menjelaskan ekspresi keagamaan yang ada.

Sebagai salah satu cara untuk menjelaskan Life Religion, Samsul Maarif menggunakan apa yang disebut sebagai Pandangan Dunia (worldview/Weltanschauung). Sebagai manusia, mereka mempertanyakan tentang bagaimana ‘aku’ di dunia ini, beberapa dijawab melalui agama, filsafat, wisdom, dan lain-lain. Pertanyaan yang muncul adalah tentang siapakah ‘aku’ di dunia ini?, selain ‘aku’ siapa lagi yang hidup di dunia ini?, dan bagaimana relasi ‘aku’ dengan ‘yang lain’? pertanyaan inilah yang mendasari Pandangan Dunia. Robert Redfield menjelaskan pandangan dunia sebagai perspektif dalam melihat kosmos. Perspektif ini dimiliki masyarakat dan yang mempengaruhi mereka dalam bersikap, karakter, dan perilaku-perilakunya.

Secara umum, Pandangan Dunia menjelaskan tentang dunia, yakni ‘supranatural’, ‘kultur’, dan ‘natur’. Supranatural adalah kekuatan tertinggi yang memiliki kuasa terhadap kultur dan natur. Manusia dijelaskan sebagai kultur, yang memiliki akal dan budi, berkewajiban menyembah kepada supranatural sebagai ketundukannya, dan juga memiliki kekuatan dan kuasa yang lebih tinggi dari pada natur, sehingga berhak untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan bertahan hidup. Natur merupakan alam dan seisinya, gunung, laut, tanah dan lainnya yang dipahami sebagai bagian dunia terendah. Relasi ini sangat esensial dalam pandangan agama dunia. Bentuk relasi yang herarkis, yang seharusnya membawa kebaikan dalam pengelolaan alam, justru sebaliknya, dipenuhi dengan sifat ‘eksploitatif’.

Relasi tersebut juga merupakan pengaruh dari Edward Burnett Tylor, seorang antropolog pertama yang memberikan menjelaskan tentang agama melalui istilah “animisme”. Tylor menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan alam adalah hubungan dalam rangka ‘membujuk’ alam untuk tidak memberikan kesulitan kepada manusia, dengan melakukan ritual-ritual, upacara, dan kegiatan keagamaan lainnya. Namun, Tylor merasa hubungan manusia sebagai kultur dengan alam atau natur tidak seharusnya terjadi sebagaimana hal di atas. Hal itu karena tidak mungkin secara logis, alam semesta memiliki kehendak sebagaimana manusia. Sehingga, dalam teori animismenya, dia menciptakan istilah ‘spirit’ atau roh yang hidup dalam alam. Menurut Tylor, suatu kesalahan bila manusia menyamakan natur (alam) dengan suprantural. Oleh karena itu, orang-orang yang masih melakukan itu dinilai sebagai kolot, bodoh, tidak logis,dan terbelakang.

Pada konteks tersebut, paradigma agama lokal dinilai sebagai alternatif. Relasi yang dibangun dalam sudut pandang Paradigma Agama Lokal adalah relasi diri yang ditentukan oleh eksistensi yang lain. Oleh karena itu, jika paradigma agama dunia ditentukan oleh relasi yang bersifat hirarkis, maka Paradigma Agama lokal lebih pada relasi yang menekankan pada relasi antar subjek (Intersubjektive) dimana setiap subjek --dalam hal ini tidak hanya manusia sebagai subjek, tetapi non-manusia sebagai subjek—memiliki kesempatan yang sama dan juga saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Keberadaan ‘diri’ ditentukan dengan keberadaan ‘yang lain’. Oleh karena itu, ‘kuasa’ dalam hal ini bersifat dinamis, sedangkan relasi yang dibangun ditentukan berdasarkan pengalaman yang terjalin terus-menerus sehingga menghasilkan pengetahuan dan juga pembangunan komitmen antar subjek-subjek tersebut.

Pemberian sesaji yang dilakukan oleh Masyarakat Kejawen, atau tradisi lainnya, sebagaimana masyarakat Amatoa di Sulawesi tidak selalu dipahami sebagai ‘sembah’ yang dalam sudut pandang Paradigama Agama Dunia adalah bentuk ketundukan dalam relasi herarkis tersebut. Sesajen atau ucara ritual lainnya terhadap natur/alam, adalah wujud memperbaharui hubungan satu dengan yang lain sebagai komitmen untuk saling menjaga keseimbangan kosmos. Oleh karena itu, agama dalam Paradigma Agama Lokal dipahami sebagai relasi antar subjek yang memiliki etika, tanggung jawab dan resiprokal (timbal balik). Pandangan Agama lokal ini tidak melulu tentang agama lokal, karena ia pada dasarkanya adalah sudut pandang atau Pandangan Dunia yang juga dapat ditemukan dalam ajaran Islam, Buddha, Kristen, Katolik, atau agama-agama lainnya.

Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung, Abad Badruzzaman menambahkan bahwa kajian terhadap agama dalam rangka penerimaan kemajemukan dan menghormati perbedaan sangat perlu saat ini. Konflik terjadi karena dilema akan identitas mana yang harus didahulukan. Beliau dengan tegas mengungkapkan bahwa sebelum menjadi Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Katolik dan agama lainnya, kita terlebih dahulu telah menjadi Indonesia. Oleh karena itu, nasionalisme dan kesetiaan terhadap NKRI menjadi prinsip dan pilihan yang tidak lagi harus diperdebatkan. Dia meyakinkan kepada para hadirin bahwa Fakultas Ushuluddin Agama dan Dakwah akan menjadi fakultas yang menghormati kemajemukan dan menerima perbedaan.[FRD]