Kantor FUAD IAIN TA terdiri dari tiga ruang: satu ruang buat pelayanan akademik, satu ruang untuk pelayanan administrasi, dan satu ruang rapat. Mahasiswa semester atas yang ingin konsultasi judul skripsi atau mahasiswa semester berapa pun yang ingin konsultasi menyangkut apa pun terkait urusan kuliah, mereka masuk ruang pertama. Di sana ada dekan, para wakil dekan, para kajur, para sekjur dan seorang ketua laboratorium. Mahasiswa yang akan bertanya tentang Kartu Hasil Studi, sistem akademik online, syarat-syarat ikut ujian komprehensif, syarat-syarat ikut ujian proposal skripsi, dan apa pun terkait urusan administrasi murni, masuk ruang kedua. Di sana ada “Pak Admin” yang selalu setia melayani setiap keluhan mahasiswa. Saya jamin, “Pak Admin” selalu memasang wajah ceria pada setiap mahasiswa yang datang, bahkan pada mahasiswa yang memasang wajah paling tidak bersahabat pun. Ada pun ruang ketiga, hanya para dosen yang menjabat di FUAD dan tenaga admin yang boleh masuk ke situ untuk mengadakan rapat.
Ruang kedua sebenarnya bukan hanya untuk pelayanan administrasi. Di sana juga ada sekat berisi beberapa unit CPU serta beberapa rak berisi kitab dan buku. Sekat ini yang menarik bagi saya. Persisnya rak kitab dan buku. Saya menyebut ‘kitab’ untuk yang berbahasa Arab dan ‘buku’ untuk yang berbahasa Indonesia. Tidak usah mencela dengan berkata, “Bukankah ‘kitab’ itu bahasa Arab untuk ‘buku’?” Sekat ini pada hari-hari aktif kuliah juga berfungsi sebagai laboratorium. Duh…sebenarnya saya isin menyebut sekat sempit itu sebagai laboratorium. Tapi apa hendak dikata. Ingat sodara-sodara, kami ini baru saja melepas setatus sekolah tinggi (STAIN). Jadi secara fisik perangkat dan kelengkapan KBM kami memang masih “beraroma” STAIN. Tapi saya pastikan, satu-dua tahun ke depan, kami akan menjadi “The Real IAIN; Zhahiran wa Bathinan.”
Ya…sekat itu menarik perhatian saya. Lebih khusus, rak buku yang ada di sekat itu yang menarik perhatian saya. Lebih khusus lagi, buku-buku yang ada di rak itu yang benar-benar menyedot perhatian saya. Buku-buku itu sebagiannya merupakan hasil dari wakaf buku. Gerakan wakaf buku mulai diterapkan tahun kemarin terhadap semua lulusan Fakultas (waktu itu masih Jurusan) Ushuluddin. Sebelum mereka pulang menenteng ijazah, mereka diwajibkan terlebih dulu menyumbang satu buku atau kitab ke Jurusan. Hasilnya lumayan.
Dari sini terbersit dalam benak saya pemikiran membangun “perpustakaan” fakultas. Kata “perpustakaan” sengaja saya beri tanda petik sebagai upaya sederhana untuk berkelit dari tuntutan dan ekspektasi yang mungkin muncul saat Anda masuk perpustakaan. DIPA kami masih DIPA STAIN. Jadi pengadaan buku semuanya di-handle dan diperuntukkan bagi perpustakaan STAIN (IAIN). Jurusan (Fakultas) belum diperkenankan mengajukan anggaran buat pengadaan buku. Singkat kata, untuk masa sekarang fakultas belum boleh mendirikan perpustakaan sendiri.
Namun demikian, hemat saya buku-buku inti kefakultasan harus tersedia di dalam sekat yang telah menarik perhatian saya itu. Sekat boleh sempit, tapi mahasiswa yang masuk ke dalamnya harus luas wawasannya dengan membaca buku di sana. Rak yang tersedia mungkin hanya beberapa, tapi mahasiswa yang mendekatinya harus menjadi terbuka matanya dengan membuka buku-buku yang dipajang di sana.
Maka gerakan wakaf buku dari para lulusan harus tetap berlanjut dari tahun ke tahun. Tapi jika hanya mengandalkan wakaf dari lulusan, koleksi bukunya akan sangat lambat perkembangannya. Dari itu, kemarin (5-3-2014) dalam rapat dosen Fakultas saya menyelipkan pengumuman bahwa semua dosen FUAD wajib mewakafkan minimal satu judul buku setiap akhir semester yang diberikan bersamaan dengan penyerahan nilai UAS. Sebut saja seluruh dosen FUAD ada 50. Maka dalam setahun FUAD akan mengoleksi 100 judul buku baru, dan begitu seterusnya.
Tanpa disangka, pengumuman tersebut disambut cukup antusias oleh para dosen yang hadir. Semua mengangguk setuju. Akan kita lihat di akhir semester nanti, apakah anggukan itu akan mewujud menjadi buku seperti yang diharapkan. Bukan hanya anggukan tanda setuju yang saya terima. Muncul pula ide-ide cemerlang lainnya terkait percepatan jumlah koleksi buku buat “perpustakaan” FUAD. Ide pertama datang dari salah satu dosen senior. Beliau usul, “Selain mengandalkan wakaf, koleksi buku juga bisa ditempuh dengan mencetak sebanyak-banyaknya buku-buku dalam e-book. Sebut sebagai misal, Anda punya e-book buku-buku klasik karya al-Ghazali. Serahkan kopian e-book itu ke Fakultas, nanti Fakultas memprintnya, menjilidnya, menatanya dan seterusnya.” Saya manggut-manggut setuju, meski dalam hati bertanya-tanya penuh kekhawatiran, “Uang buat mencetak buku-buku itu dari mana?” Ah…urusan itu biar dipikir nanti! Selalu ada jalan setiap ada keinginan. Kata guru bahasa Inggris, “Where there is a will there is a way.”
Ide kedua dari dosen semi-senior. Beliau berkata, “Saya punya link di Saudi. Link itu siap mengirim kitab-kitab tafsir dan lainnya. Yang diminta dari kita hanya surat permohonan resmi dan ongkos kirim. Adik saya akan kuliah di sana. Biar nanti dia yang mendatangi link itu sambil membawa surat permohonan dari kita.” Betapa hatiku senang mendengar ide atau usulan ini. Saya sudah tidak sabar melihat sang adik dosen itu pergi ke Saudi untuk kuliah di sana. Saya akan membekalinya surat permohonan pengiriman kitab beserta segepok doa dan harapan akan kelancaran segala urusan; urusannya dan urusan FUAD.
Terlihat ada dosen lainnya angkat tangan. Dosen berkacamata itu tidak mengusulkan sesuatu. Ia hanya merangkum semua usulan. Ia berkata, “Jadi kita punya tiga cara buat koleksi ‘perpustakaan’ FUAD: wakaf buku, pencetakan buku-buku dari e-book, dan kiriman dari salah satu link di Saudi.”
Sementara itu Abahnya FUAD senyam-senyum senang; senang harapannya berbalas secara positif, senang pula dengan ide-ide yang muncul terkait harapan itu. Yakni harapan Si FUAD punya perpus. Kecil-kecil, Si FUAD banyak maunya. Kemauan-kemauan (jangan salah baca!) lainnya akan disampaikan di lain kesempatan.