Sabtu, Apr 27, 2024

Bima Suci, Kolaborasi Jawa dan Islam dalam Pewayangan

Selama ini, banyak peneliti khususnya antropolog yang mencoba menyatakan bahwa Islam dan Jawa adalah dua budaya yang saling bertentangan dan berkompetisi. Beberapa fakta sejarah menunjukkan konflik antara keduanya. Hal itu menjadi tantangan akulturasi antara Islam dan Jawa. Demikian disampaikan Akhol Firdaus, Direktur Institut Transvaluasi untuk Pengembangan Filsafat dan Agama, pada Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan, Selasa (31/3) malam. Diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Transvaluasi ini mengundang Dr. Teguh, M.Ag. untuk mempresentasikan disertasinya “Moral Islam dalam Lakon Bima Suci” dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen dan civitas academica IAIN Tulungagung.

Menjawab tantangan di atas, Dr. Teguh, M.Ag. justru menegaskan bahwa terdapat nilai moral keislaman yang sangat kaya ditemukan dalam Ajaran Jawa, khususnya pewayangan. Salah satunya adalah cerita tentang Bima Suci, kisah yang digubah oleh Walisongo dari Lakon Nawa Ruci India. Kisah tersebut dikenal dengan Lakon Dewa Ruci pada masa Kerajaan Demak, dan kemudian berkembang menjadi Lakon Bima Suci pada masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Bima disimbolkan sebagai salah satu rukun Islam, yakni menjalankan shalat lima waktu sebagai tiang utama agama Islam. Adapun pertemuaan Bima dengan Dewa Ruci, adalah simbol dari ittihad, yang oleh Ibnu ‘Arabi dijelaskan sebagai kondisi dimana manusia mampu sampai pada Tuhannya dengan cara menjalankan Syariat Tuhan.

Konsep tersebut, menurut Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah ini, juga memiliki gaya lain, seperti konsen Insan Kamil milik Al-Hallaj, dimana Tuhan lah yang memilih hamba-Nya untuk sampai kepada-Nya. Dr. Teguh, M.Ag. menyebutkan empat tahap menuju ittihad dalam Lakon Bima Suci, yakni Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat, sebagai jalan untuk menuju ittihad, atau dalam ajaran Jawa disebut dengan Manunggaling Kawula Gusti. Dalam serat Wedhatama, terdapat ajaran sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa yang memiliki makna selaras dengan empat tahap menuju ittihad.

Menurut Dr. Teguh, M.Ag, lakon Bima ini adalah original dari Jawa, karena nama tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab kisah Nawa Ruci. Dia menjelaskan Kisah Mahabharata mengalami perubahan yang signifikan ketika pada masa Walisongo, untuk menyesuaikan ajaran di dalamnya, dengan ajaran Islam. Tokoh Drupadi yang merupakan istri dari lima pandawa dalam Kisah Mahabharata, hanya dijelaskan menjadi istri Yudhistira, putra sulung Pandu. Hal itu karena di dalam Islam, tidak terdapat ajaran poliandri. Begitu juga nama Yudhistira, lebih dikenal dengan Puntadewa atau Dharmakusuma yang mendapatkan kesaktian Jimat Kalimasada, yang ditafsirkan sebagai Kalimat Syahadat.

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitiannya, Dr. Teguh, M.Ag. menyimpukan bahwa wayang menjadi salah satu pilihan berdakwah yang efektif. Hal itu karena wayang adalah karya seni yang digemari oleh banyak orang,sejakKerajaan Airlangga sampai saat ini. Sebagai sarana dakwah kultural, wayang memiliki sifat 'ngemot' (mampu menampung) berbagai kearifan lokal. Selain itu, kelenturan dari seni pewayangan ini, menjadi ruang untuk berkembangnya nilai-nilai filosofis dan Agama Islam.

Acara Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan ini merupakan forum ilmiah yang diselenggarakan secara periodik oleh Institut Transvaluasi untuk Pengembangan Filsafat dan Agama, sebuah lembaga di lingkungan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) IAIN Tulungagung di bawah naungan Jurusan Filsafat dan Agama. Lembaga ini didirikan sebagai bentuk dari keprihatinan akan semakin memburuknya tradisi diskusi di kampus. Diskusi telah jatuh menjadi rutinitas, baik di hampir semua perkuliahan, di lingkungan aktivis mahasiswa, serta di kalangan dosen-dosen. Maka dilahirkannya ide Seri Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan inidicita-citakan bisa menjadi arena pergulatan intelektual di lingkungan IAIN Tulungagung.

Turut hadir dalam forum perdana Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan ini adalah Rektor IAIN Tulungagung Dr. Maftukhin, M.Ag., Direktur Program Pascasarjana Prof. Dr. Achmad Patoni, M. Ag., Dekan FUAD Dr. Abad Badruzaman, Lc, M.Ag., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Dede Nurohman, M.Ag., Kajur Filsafat Agama Dr. A. Rizqon Khamami, Lc., M.A. Dalam sambutan pembukaannya, Rektor IAIN Tulungagung, Dr. Maftukhin, M.Ag., berpesan agar kegiatan diskusi ini menjadi tradisi keilmuan yang terus berlanjut. Menurutnya, menjadi seorang akademisi yang sukses bermula dari diskusi sederhana, kecil, atau bahkan sedikit, tetapi berlangsung terus menerus. Dalam sejarah Islam, Dr. Maftukhin, M.Ag. menyebut Baitul Hikmah sebagai sarana diskusi para filosof Muslim hebat, seperti Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, dan lain-lain.Oleh karena itu, mahasiswa, dosen maupun civitas academicalainnya agar mempertahankan kegiatan diskusi ilmiah yang sudah dimulai sejak akhir Maret ini. 

Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan selanjutnya akan dilaksanakan satu bulan mendatang, Rabu 29 April 2015, mendiskusikan disertasi “Hubungan Sains dan Islam dalam Perspektif Fethullah Gullen” oleh Dr. A. Rizqon Khamami, Lc., M.A.