Ajaran yang diserukan oleh Nabi Muhammad SAW sesungguhnya bukan hanya membawa misi tauhid, namun juga memiliki misi pembebasan, yakni pembebasan dari tradisi penindasan yang telah lama menjadi kultur masyarakat Arab pada saat itu. Misi pembebasan inilah yang membuat dakwah awal Nabi SAW di Mekkah sulit berkembang, karena ajarannya berisi seruan kepedulian sosial, egalitarianisme (bagi budak, kaum wanita, anak-anak), serta distribusi harta (dengan konsep infak, shadaqah, zakat, dll) sulit diterima oleh masyarakat Mekkah.
Hingga era al-Khalifah ar-Rasyidah yang empat, ajaran ini masih terjaga, namun spirit teologi pembebasan ini mulai pudar seiring dengan perubahan dari bentuk pemerintahan khilafah menjadi monarki (oleh Yazid bin Muawiyah). Demikianlah yang disampaikan Dr. Abad Badruzaman, Lc., M.Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) pada Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan, Rabu (27/5) malam. Diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Transvaluasi ini membedah disertasi beliau yang berjudul “Teologi Kaum Tertindas” dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen dan civitas academica IAIN Tulungagung.
Mengapa semangat Islam adalah semangat pembebasan? Abad Badruzaman menyampaikan pemikiran Ali Shariati yang membedakan 2 tipe kenabian, yakni Abrahamic Prophets (Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, Muhammad SAW) dan Non-Abrahamic Prophets (Zoroaster, Confucius, Buddha). Perbedaan karakter dari kedua tipe kenabian tersebut ada pada latar belakang kehidupan ekonomi-sosial. Semua nabi dari Non-Abrahamic Prophets mengakui kekuasaan yang ada pada zamannya dan mencapai misi mereka dengan bantuan kekuatan itu. Sedangkan para nabi Abrahamic Prophets, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad SAW, muncul sebagai bentuk “pemberontakan” terhadap kekuasaan yang ada. Misi kenabian Muhammad SAW dimulai dengan perjuangan melawan aristokrasi, perbudakan, tuan tanah dari Taif dan para pedagang Quraisy. Perbandingan inilah yang membantu menuntun kita mengenal semangat dan arah agama Islam, yakni semangat pembebasan.
Bagaimana menerapkan teologi pembebasan saat ini dan di sini? Langkah pertama adalah dengan mengetahui dimanakah posisi kita (kaum muslim) saat ini. Diungkapkan oleh Abad Badruzaman, istilah “teologi pembebasan” di sini tak bisa dilepaskan dari pencetus utama pemikiran tersebut, yakni Hassan Hanafi. Dengan proyek yang dinamainya dengan al-Turats wa al-Tajdid (tradisi dan pembaruan), Hanafi mengagendakan tiga dimensi yang saling berhubungan yang menjadi basis dalam membangun proyeknya, yaitu: Pertama, al-Turats al-Qadim (sikap kita atas khazanah klasik). Dalam program ini Hanafi ingin mereformasi pemikiran Islam dengan melakukan revitalisasi terhadap turâts klasik dan merekonstruksinya supaya tidak usang dan bisa berdialog dengan zaman ini. Kedua, al-Turats al-Gharbi (sikap kita terhadap khazanah Barat). Dimensi ini melahirkan oksidentalisme, sebuah kajian kritis atas budaya Barat. Dan terakhir, al-Waqi’ (sikap kita atas realitas), yakni menafsirkan kembali serta merekonstruksi kebudayaan masa sekarang dalam skala global yang memosisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Dari al-Waqi’ inilah kita menjadi tahi di mana dan bagaimana kondisi umat Islam saat ini (ayna nahnu al-an), kemana kita akan melangkah (ila ayna nasiir), dan dari mana memulainya (min ayna nabda’).
Beberapa tanggapan diberikan oleh peserta untuk menambah perspektif tentang tema yang sedang dibahas. Tanggapan pertama dari Dr. Rizqon Khamami, Lc., M.Ag. (Kajur Filsafat Agama). Beliau memberikan gambaran tentang perbedaan kondisi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan yang minoritas Muslim. Dari 4 negara tujuan TKI (Saudi, Malaysia, Korea, Hong Kong), mengapa nasib TKI di negara dengan mayoritas Muslim (Saudi dan Malaysia) lebih “ngenes” nasibnya dibanding negara yang umat Islamnya minoritas (Korea dan Hong Kong).
Tanggapan kedua dari Dede Nurrohman, M.Ag (Dekan FEBI) yang menyatakan bahwa munculnya ekonomi Islam berasal dari muara yang sama, yakni keadilan bagi umat manusia. Kajian ekonomi Islam saat ini masih terbelah antara 3 mazhab, yakni mazhab Baqir as-Sadr (ilmu ekonomi tidak akan pernah sejalan dengan Islam), madzhab mainstream (membenahi praktik ekonomi konvensional dengan nilai Islam), dan madzhab Timur Kuran (alternatif-kritis). Tanggapan terakhir disampaikan oleh Bapak Kasah, tokoh agama Hindu di Tulungagung. Beliau menyatakan bahwa dalam ajaran Hindu juga terdapat semangat pembebasan terhadap penindasan. Karena itulah ada konsep reinkarnasi sebagai kesempatan untuk memperbaiki kesahalahan ketika hidup di masa lalu. Umat harus sadar bahwa kehidupan sekarang ini merupakan kesempatan yang baik untuk memperbaiki diri demi kehidupan yang lebih baik pada masa datang.
Setelah sesi tanggapan, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Salah satu penanya adalah Setiamin, mahasiswi semester 2 Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, yang menanyakan perbedaan penerimaan ajaran Nabi SAW di kota Mekkah dan Madinah, serta apakah melemahnya dunia Islam karena sikap kaum muslim yang mengedepankan individualisme. Menjawab pertanyaan ini, Abad Badruzaman manyatakan bahwa perbedaan resepsi dakwah Nabi SAW di kedua kota suci tersebut terjadi karena perbedaan geografis (perbukitan dan agraris), perbedaan mata pencaharian (perdagangan dan pertanian). Selain itu juga adanya konflik berkepanjangan oleh 2 suku di Madinah yang membuat penduduk Madinah rindu akan sosok yang bisa menjadi juru damai dan pemersatu.
Adapun mengenai kondisi melemahnya umat Islam, hal inoi disebabkan oleh dua hal, yakni sifat rakus manusia dan kesalahan tata kelola. Sebagai penutup, Abad Badruzaman memberi kesimpulan bahwa ruh pembebasan ada pada tiga kata: 1) al-adalah (keadilan); 2) al-hurriyah (kebebasan); dan 3) al-'aqlaniyah (rasionalitas).[*]