(Tulungagung) Senin (30/11), acara Ceramah Ilmiah dan Kebudayaan Institut Transvaluasi untuk Pengembangan Filsafat Agama dengan tema Perlindungan Hak-hak Perempuan dalam Perspektif HAM dan Islam oleh Ust. Nakhai selaku Komisioner Komnas Perempuan RI. Kedatangan Ust. Nakhai di kampus IAIN Tulungagung membawa angin segar bagi pecinta diskusi. Apalagi kajian Gerder masih belum populer di lingkungan kampus. Acara tersebut bertempat di Aula Utama IAIN Tulungagung pada pukul 18.30-21.30 WIB dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, civitas akademika di lingkungan kampus IAIN Tulungagung, dan instansi luar.
Ust. Nakhai memaparkan sekilas tentang terbentuknya komnas perempuan. Komnas perempuan lahir tahun 1998 karena kerusuhan diberbagai kota besar yang ada di Indonesia. Terutama yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Pada saat itu, beberapa aktivis perempuan meminta pertanggungjawaban negara yang masih dipegang oleh presiden B.J. Habibie. Tahun kemarin, Komnas perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan.ada sekitar 300.000 korban yang melapor. Sumber didapat dari pemaparan korban langsung, lewat sms, telepon, dan Kementerian Agama.
Di Kementerian Agama, kasus perceraian juga banyak terjadi di Indonesia karena gugatan dari perempuan. Penyebab gugatan akibat perempuan semakin maju, ekonomi lebih bagus. Tetap saja dalam kasus perceraian, wanita selalu dianggap salah. Dalam suatu penelitian di luar negeri, wanita dianggap dapat memicu hal yang tidak diinginkan karena model berpakaian yang tidak benar.
Paradigma agama dan juga paradigma negara sering kali tumpang tindih dalam melindungi warganya. Negara seringkali kurang dalam mengatasi psikologi yang terjadi pada perempuan yang diakibatkan kekerasan. TKI perempuan yang bekerja di Malaysia kebanyakan mengalami gangguan stres akibat kekerasan seksual dari majikannya.
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan diabadikan oleh budaya, budaya sendiri diabadikan dengan agama. Kesenjangan yang terjadi pada agama tidak lain disebabkan penafsiran dari Al Qur’an dan Hadist. Mengapa demikian. karena Al Qur'an sendiri tidak mungkin dapat berbicara sendiri. Adapun Al Qur'an dan Hadist itu berbicara disebabkan karena Orang yang membaca. Kebiasaan Ulama Indonesia yang suka memotong hadist-hadist membuat makna yang terkadung melalui tafsir. Harus ada penyelarasan kembali terhadap agama yang kita kaji. Perlu ada instrumen yang disepakati bersama di tingkat nasional. Dalam undang-undang terdapat pasal yang berbicara tentang HAM bahwa Manusia itu memiliki hak yang sama.
Manusia ada tiga tingkatan yaitu.insaniyah (kemanusian), akromiyah, peran sosial. Perempuan memiliki kecerdasan yang sama, bisa dibuktikan dengan Aisyah yang banyak sekali menghafal hadist. Ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah hadist yang tidak membolehkan wanita menjadi seorang pemimpin. Realita yang terjadi saat ini perempuan banyak yang menjadi pemimpin. Jadi siapa yang masih mempertahankan argumen itu sebenarnya dia ditertawakan oleh fakta sosial yang terjadi dimasyarakat. Relasi kuasa harus dipahami secara benar. Perempuan itu mudah dimanfaatkan, ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu karena relasi kuasa yang terdapat ketimpangan dan juga peran sosial yang terjadi.
Menurut Ust. Nakhai “Tafsir bisa saja salah, akan tetapi tidak masalah ketika masih dalam bingkai ataupun ruang yang mengelilinginya”. Kita memahami mana yang berbicara tentang kemanusiaan, peran sosial, dll. Semua undang-undang pasti digunakan untuk kemaslahatan dan selagi dalam taraf itu, sudah pasti akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Kebanyakan dari kita menaruh hadist yang benar pada konteks yang tidak tepat. Instrumen dalam HAM mudah dibaca dalam berbagai literasi. Bapak Akhol Firdaus , M.Pd. selaku Direktur Institut Transvaluasi menambahkan dengan membuka wacana yang terjadi didalam beberapa negara. Kekerasan. Pembunuhan terhadap perempuan dibenarkan atas nama kehormatan. Sangat rentang sekali perempuan mengalami ketimpangan atau diskriminasi dalam lingkup agama maupun budaya. Di beberapa kota pelecehan pada perempuan itu dibenarkan atas nama etis bertemu dengan argumentasi kelas. Instrumen perlindungan perempuan harus dibuat berlapis-lapis dalam mengupayakan kesetaraan dan keadilan perempuan.
Ada penambahan dari Zulfatun Ni’mah, M.Hum “Setiap membicarakan upaya pembebasan perempuan dari situasi ketidakadilan atau penindasan sering kali dan hampir selalu kemudian berhadapan dengan wacana-wacana keagamaan yang seolah-olah melegitimasi penindasan dan ketidakadilan itu, saya sangat tidak percaya bahwa agama yang melegitimasi itu”. Begitu kompleknya Ibu Zulfatun Nikmah, M.Hum yang juga ahli dalam Gender tergugah hatinya untuk menyuarakan kesamaan dan keadilan perempuan. Kita patut menyaksikan Zulfatun Nikmah, M.hum yang akan menjadi pemateri di acara Institut Transvaluasi dengan tema Perlindungan Hukum terhadap Perempuan pada tanggal 15 Desember 2015 yang bertempat di Aula Utama IAIN Tulungagung. (Humas)