Kamis, Nov 21, 2024

Islam Nusantara dan Gerakan Islam Transnasional: Islam Jawa dalam Ruang dan Waktu

Tulungagung. Hadirnya Islam Nusantara dinilai sebagai kebangkitan identitas nasionalisme Indonesia dalam menghadapi gelombang gerakan Islam Transnasional dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kritik terhadap gerakan transnasional sudah pernah diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dalam banyak esainya, namun hingga saat ini gaya Islam dengan style Arab justru menemukan momentumnya, tidak hanya secara politik tetapi juga secara budaya. Profesor Mark R. Woodward menjelaskan bahwa gerakan transnasional sudah berlangsung sejak lama, dan Islam adalah bagian dari gerakan transnasional pada awal kehadirannya di Nusantara. Hal tersebut disampaikan oleh Mark dalam Ceramah dan diskusi bertemakan “Islam Jawa sebagai Representasi Islam Nusantara” yang diselenggarakan oleh Institut Transvaluasi Fakultas Ushuluddin Abad dan Dakwah IAIN Tulungagung, Jumat 26 Agustus 2016 di Aula Utama IAIN Tulungagung.

Mengawali penjelasannya tentang gerakan transnasional, Guru Besar Arizona State University tersebut menceritakan pengalamannya ketika meneliti Islam Jawa di Yogyakarta sejak tahun 1978. Mark mengklarisikasi bahwa penelitiannya tidak seharusnya digeneralisir sebagai Islam Jawa, karena faktanya penelitian tersebut hanya dilakukan di kampung kecil terletak dalam lingkungan benteng Keraton Yogyakarta. Dia menyadari bahwa Islam Jawa memiliki pengertian yang sangat luas karena beragam dan kayanya budaya Jawa baik di Jawa Tengah, Jawa Barat, maupun Jawa Timur.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat yang ia temui saat itu adalah sebuah masyarakat Jawa yang menjadikan Islam sebagai identitas, tetapi hampir sebagian besar ritual Islam tidak dijalani, namun hal-hal yang berhubungan dengan tradisi kejawaannya masih sangat diperhatikan. Mark menarasikan bahwa sebagian besar masyarakat tersebut berada di bawah garis kemiskinan. Secara umum, mereka hampir tidak melaksanakan ibadah solat, puasa, bahkan tidak dapat membaca Al Quran, meskipun itu hanya surat Al Fatihah. Masyarakat tersebut sangat menyukai ziarah makam yang dinilai keramat, menyukai dan mempercayai jimat, keris, cincin, dan menjadikan wayang sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Namun demikian, Islam tetap menjadi bagian dari identitasnya. Pada upacara kelahiran dan kematian, masyarakat ini mengundang santri dari Kampung Kauman yang terletak di dekat kampungnya. Hubungan masyarakat ini dengan masyarakat Kauman hampir tanpa konflik, sehingga Mark menyebutnya sebagai symbiotic relationship.

Masyarakat ini pun berkembang. Terdapat salah satu langgar yang dikelola oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah. Langgar ini memberikan ceramah khususnya tentang tema purifikasi dimana seluruh aktivitas kejawen dianggap syirik, tetapi dalam waktu bersamaan Muhammadiyah juga membuka lembaga pendidikan dan layanan kesehatan untuk masyarakat sekitarnya. Masyarakat ini mengirimkan anak-anaknya belajar di sekolah Muhammadiyah, sehingga sebagian dari masyarakat ini mulai melakukan solat dan puasa lebih rajin dari sebelumnya, bahkan terdapat dari mereka berangkat haji. Meskipun demikian, bukan berarti bawah tradisi kejawaan mereka berkurang atau bahkan berhenti. Masyarakat ini tidak melihat antara kejawaan dan keislaman mereka sebagai suatu kontradiksi.

Menurut Mark, teradapat dua faktor yang mempengaruhi masyarakat ini sehingga tidak terdapat konflik akan tradisi Jawanya dan Islam sebagai identitas. Pertama, dalam kondisi politik Islam di Indonesia kehadiran Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) dalam konteks ini justru membantu masyarakat tersebut bahwa mengidentifikasi dirinya “Saya Muslim tapi bukan seperti Muhammadiyah atau NU”. Kedua, batasan tentang identitas kejawaan dan Islam juga semakin kurang jelas. Transformasi ini berlangsung cepat, sehingga beberapa anak bangsawan masyarakat ini meskipun belajar di sekolah Belanda tetapi ketika menikah tetap mengundang santri Kauman bahkan melaksanakan haji.

Dari kajian penelitian tersebut, dapat digambarkan bahwa Islam yang datang pada saat itu sebagai proses “santrifikasi”adalah bagian dari Islam Transnasional, hadir dan bertemu dengan tradisi Jawa dimana sebagian besar ini kepercayaan tradisi ini dinilai syirik. Namun akhirnya, walaupun santrifikasi mampu mempengaruhi masyarakat Jawa, tetapi bukan berarti tradisi Jawa ikut hilang. Sebaliknya Islam mengalami ‘adaptasi’ dan bertransformasi sedemikian rupa. Hal inilah yang meyakinkan Mark, bahwa gerakan transnasional tidak akan berhasil di Indonesia, hingga saatnya mereka mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan budaya lokal. Oleh karena itu, Mark menekankan untuk fokus riset kearifan muslim lokal di Indonesia untuk memperkaya Islam Nusantara, tidak hanya Islam Jawa tetapi juga Islam-Islam lain di Indonesia.

Dewasa ini, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dinilai sebagai gerakan transnasional yang mengancam Islam di Indonesia. Begitu juga dalam lifestyle, gambaran tentang kesalehan Islam merujuk pada Arab. Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Dr. Abad Badruzzaman, mengungapkan keresahannya tentang fenomena bahwa Islam tidak dilihat secara substantif, tetapi hanya kulitnya saja, sehingga mereduksi makna Islam itu sendiri. Islam diidentifikasi dengan oriestasi Arab, bahkan terdapat beberapa unsur untuk mengukur keislaman secara lahiriah. Padahal menurutnya, kesempurnaan Islam justru terletak pada semangat keterbukaannya. Sifat keterbukaan dalam Islam yang membuatnya mampu menerima berbagai budaya yang sesuai dengan nilai-nilai dan semangat Islam.

Dalam Prolog-nya, Abad menceritakan bahwa Semenanjung Arab yang memiliki kultur bahkan bahasa yang sama terbagi menjadi 22 negara Arab dan terus saling berperang satu dengan yang lain. Adapun Nusantara yang terdiri atas lebih dari 540 bahasa dan 1300-an suku bersatu dalam satu naungan Indonesia. Oleh karena itu, Islam Nusantara tidak bermaksud mengkerdilkan Islam, tetapi justru anugerah yang akan menjadi perekat keragaman Indonesia.

Wakil Rektor 1 IAIN Tulungagung, Prof. Dr.Imam Fu’adi, dalam sambutannya menjelaskan bahwa kajian tentang Islam Jawa sejak Cliffort Geertz terus mengalami perubahan. Kritik terhadap istilah yang digunakan oleh Geertz, yakni “Abangan, Santri dan Priyayi” terus bertambah, karena pembagian masyarakat tersebut dinilai sudah tidak relevan dengan semakin kompleks dan beragamnya masyarakat Jawa. Ceramah yang disampaikan oleh Prof. Mark R. Woodward diharapkan menjadi pemantik untuk dilanjutkan dengan berbagai penelitian tentang Islam Jawa di lingkungan akademik, khususnya di IAIN Tulungagung.[FM]