Tulungagung –Sebagai wujud perhatian dan keinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan pesantren sekaligus bisa membedah keilmuan pesantren, hari ini (30/10) IAIN Tulungagung me-launching Pusat Studi Pesantren (PSP). Launching yang digelar di Aula Utama IAIN Tulungagung tersebut dihadiri oleh segenap pesantren yang ada di Kabupaten Tulungagung, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) dari kabupaten se-Karesidenan Kediri, perwakilan dari Kementerian Agama Kabupaten Tulungagung, dan beberapa elemen masyarakat yang lain. Launching PSP ditandai dengan pemukulan gong oleh Rektor IAIN Tulungagung, Maftukhin.
PSP adalah sebuah pusat kajian di lingkungan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Tulungagung yang dibentuk sebagai sebuah wadah untuk pengkajian dan pengembangan pesantren berbasis riset dan pengabdian masyarakat bagi dosen dan mahasiswa. Peresmian pusat studi ini bertepatan dengan momentum Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2017 yang diperingatai setiap tanggal 22 Oktober.
Peresmian pusat studi ini dikemas dalam acara Bedah Buku yang berjudul “Pesantren Pluralis” karya HM Muntahibun Nafis yang nota bene juga ditunjuk sebagai Direktur PSP. Hadir sebagai narasumber, HM Muntahibun Nafis. Sebagai pembanding adalah KH Reza Ahmad Zaid dari Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, serta Ngainun Na’im, salah satu penulis buku paling produktif dari IAIN Tulungagung. Bertindak sebagai Moderator Akhmad Rizqon Khamami, dosen filsafat IAIN Tulungagung.
Rektor IAIN Tulungagung dalam sambutannya menyampaikan, bahwa IAIN Tulungagung dengan adanya pusat studi tersebut diharapkan bisa mengambil ilmu dari pesantren, sekaligus bisa memberikan kontribusi dan dukungan akan keberadaan dan perkembangan pesantren.
“IAIN Tulungagung memang bukan pesantren tapi harapannya bisa seperti pesantren. Karena itu selain mendirikan Pusat Studi Pesantren ini kami juga telah melakukan kegiatan madrasah diniyah bagi mahasiswa semester 1 dan 2. Gurunya juga kami ambil dari pesantren maupun alumni pesantren”, kata Rektor.
Menurut Rektor, dari sejarahnya, perkembangan negeri ini tidak lepas dari peran pesantren. Sehingga jika IAIN Tulungagung setidaknya bisa seperti pesantren maka diharapkan juga bisa merawat jantung dakwah dan peradaban yang selama ini telah diperjuangkan oleh kalangan pesantren. Tentu saja harus dengan komitmen terhadap ilmu pengetahuan karena peradaban Islam bisa di-empowering jika seseorang memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan.
Sementara itu, narasumber bedah buku, HM Muntahibun Nafis dalam pemaparannya sebagaimana yang dia tuangkan dalam buku “Pesantren Pluralis” menyampaikan bahwa Pesantren Ngalah, Pasuruan, yang berdiri pada tahun 1986 dan diasuh oleh Kyai Sholeh, dalam perkembangannya berhasil menjadi pesantren pusat kajian pluralisme. Kyai Sholeh menanamkan kepada santrinya tentang bagaimana membangun kedekatan dengan sesama makhluk Tuhan meski beda keyakinan.
“Penanaman nilai-nilai pluralisme tidak hanya disampaikan dengan ceramah atau pengajian saja tapi juga dengan menulis. Terbukti banyak hasil karya Kyai Sholeh yang luar biasa dan menjadi rujukan bagi banyak kalangan. Tarekat beliau bisa dipahami dari kitabnya oleh masyarakat awam termasuk non muslim”, terangnya.
Diterangkan oleh narasumber bahwa ada 5 elemen yang menjadikan sebuah pesantren mendapatkan eksistensinya, yaitu: kyai, santri, kitab kuning, masjid, dan asrama. Dan pondok pesantren Ngalah Pasuruan tidak hanya memilik itu, melainkan juga mengalami transformasi secara pengelolaan dan manajemennya sebagai pesantren yang mengajarkan nilai-nilai pluralisme. Hal tersebut tampak dengan perkembangannya sebagai pusat studi agama dan juga memiliki santri dari kalangan non-muslim.
“Kami harapkan dengan adanya buku ini akan menjadi jawaban atas pernyataan barat yang menyatakan bahwa pesantren adalah pusat radikalisme dan terorisme”, kata Muntahibun Nafis.
Pembanding pertama dalam bedah buku tersebut, KH Reza Ahmad Zahid atau yang biasa disapa Gus Reza menyampaikan, dari data yang ada di Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah (RMI) bahwa di Jawa Timur itu pesantrennya paling banyak. “Kurang lebih di Jawa Timur ada 7000 pesantren. Dan jumlah santrinya ada 1,5 juta”, kata Gur Reza mengawali penyampaiannya.
Menurut Gus Reza, kesemua pondok pesantren tersebut dari awalnya memang sudah pluralis. Gus Reza mencontohkan dari beberapa tradisi yang ada di pesantren sebenarnya bukan dari Arab. Dari segi bahasa kata pesantren berasal dari agama Budha. Pakaian sarung berasal dari Yaman. Demikian pun dengan bedhug juga bukan dari Indonesia ataupun Arab, tapi merupakan produk budaya China Kuno pada Dinasti Yuan. Buktinya yang ada di Forbidden City Tiongkok.
Hal lain yang disampaikan oleh Gus Reza kurang lebih adalah sebuah kritik terhadap buku “Pesantren Pluralis”. Menurut Ketua Pengurus Wilayah RMI Jawa Timur tersebut bahwa dalam buku “Pesantren Pluralis” tidak ada tanggapan dari pesantren yang lain. Menurutnya RMI terutama golongan muda seperti dia tidak akan mempersoalkan apa yang ada di Pesantren Ngalah. Tapi mungkin tidak demikian bagi kalangan tua. Dan rasanya itu perlu untuk menjadi perhatian bagi penulis untuk lebih menyempurnakan buku tersebut. Namun secara prinsip saya sepakat dengan ide pesantren pluralis, karena pesantren sendiri menurut hemat saya sudah mengusung pluralisme sejak dahulu kala.
Sementara itu, pembanding kedua, Ngainun Na'im menjelaskan bahwa seseorang bisa menjadi besar karena tiga komponen, demikian halnya dengan Kyai Sholeh yang menjadi pengasuh pondok pesantren Ngalah. Ketiga hal yang juga dimiliki oleh Kyai Sholeh tersebut adalah personality, santri/institusi berupa pesantren, sedangkan yang ketiga adalah menulis dan ditulis. Dalam pandangannya kesemuanya dimiliki oleh Kyai Sholeh dengan baik.
Sedangkan mengenai riset yang dituangkan dalam buku “Pesantren Pluralis”, Ngainun Na’im sependapat dengan yang disampaikan oleh Gus Reza. Menurutnya perlu ada riset lanjutan terkait tanggapan terhadap pesantren Ngalah dari pesantren lain di Jawa Timur khususnya.
“Seharusnya banyak ruang yang bisa dimasuki oleh penulis. Dalam buku tersebut tampak seolah linier. Dari informasi yang saya dapat banyak dinamika internal yang menarik untuk dikupas meskipun sebenarnya tidak layak dikonsumsi secara umum. Namun sebenarnya itu bisa dikemas sedemikian rupa sehingga layak dikonsumsi publik sehingga membuat isi buku tersebut menjadi lebih berwarna”, kata Ngainun Na’im.
Dengan berbagai statemen dari narasumber dan pembanding, acara bedah buku berjalan cukup menarik. Berbagai pertanyaan pun muncul dari yang hadir baik itu dari dosen maupun kalangan mahasiswa. Akhirnya dalam bedah buku tersebut disimpulkan bahwa memang perlu ada riset lanjutan mengenai pesantren pluralis. Dan hal tersebut bisa dilakukan oleh penulis maupun siapa saja yang punya minat dan perhatian guna melakukan riset terhadap pesantren serta kontribusinya terhadap bangsa Indonesia ini. (humas)